Amar Ma’rufdan Nahi MunkardalamPenyelenggaraanPelayanan Publik[1]
Banyumas, 29 April 2025 – Bulan Ramadhan kembali dating setelah hamper satu tahun lamanya kita menunggu. Allah SWT menjanjikan pahala berlipat ganda atas seluruh amal ibadah yang kita kerjakan dengan satu syarat, yakni menahan hawa nafsu. Nafsu dalam hal ini tentu tidak sekedar bermakna menahan dahaga dan lapar, tetapi juga sederet perilaku kontra produktif lainnya. Di samping itu, Allah SWT juga memerintahkan kepada umat Islam untuk senantiasa mengajak pada kebaikan dan mencegah penyimpangan (Amar Ma’ruf Nahi Munkar) sebagaimana tercantum dalam dalam Q.S. Ali Imran: 104. Dakwah ini secara konkrit dapat dilakukan pada setiap aspek kehidupan sehari- hari, salah satunya dalam proses pelayanan publik.
Pelayanan public merupakan wujud kehadiran negara dalam berbagai macam pemenuhan hak warga negara. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, membagi layanan public menjadi 3 (tiga) klaster; barang publik, jasa public dan administrasi. Apabila dicermati secara mendetail, setidaknya terdapat uraian hak warga negara jauh lebih dominan dari pada hak lainnya. Setidaknya di atas kertas, regulasi ini menjadi bukti keberpihakan negara kepada warga negaranya.
Dalam implementasinya, pemenuhan kebutuhan hak-hak warga negara tadi acap kali diwarnai dinamika yang berpotensi mempengaruhi kuantitas dan kualitas pemberian pelayanan. Tidak jarang kita mengamati peristiwa di sekitar kita (atau bahkan kita sendiri), misalnya dugaan penundaan berlarut penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM), krisis penyediaan air bersih, pungutan liar di berbagai instansi penegak hukum dan pemerintahan dan lain sebagainya. Perbedaan penafsiran atas peraturan, ketiadaan standar operasional prosedur (SOP) hingga kompetensi petugas layanan ditengarai menjadi akar penyebab timbulnya sengketa. Bisnis proses yang terhambat, pada gilirannya berdampak pada kerugian materiil dan immaterial warga negara.
Merujuk pada deskripsi di atas, maka menurut perspektif agama kita wajib berbuat sesuatu agar potensi kerugian dalam proses pelayanan public tidak meluas. Dalam perspektif hukum, konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar memiliki korelasi yang cukup erat dengan Pasal 18 huruf e, f, g, dan h Undang- Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang pada prinsipnya warga negara berhak memberitahukan kepada pelaksana/penyelenggara atau Ombudsman Republik Indonesia apabila terjadi dugaan penyimpangan dalam praktek pemberian layanan publik. Walau undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai makna “pemberitahuan”, akan tetapi secara teknis dapat dimaknai dalam 2 (dua) hal; pertama, memberikan teguran secara lisan menggunakan intonasi yang rendah dan pemilihan kalimat yang persuasif. Apalagi dalam situasi Ramadhan, hal ini semata-mata dilakukan sebagai bagian dari upaya menahan amarah sekaligus menghindari eskalasi konflik yang lebih dalam dengan petugas pelayanan publik. Sebaliknya bila teguran dilayangkan melalui cara-cara frontal, petugas akan membela diri atau menolak dengan dalih telah melakukan pelayanan “sesuai SOP”.
Selanjutnya kedua, manakala teguran belum memberikan dampak signifikan pada perbaikan layanan, maka kita dapat mengajukan pengaduan melalui kanal yang tersedia. Jika kanal pengaduan tidak tersedia, maka pengaduan dapat dialamatkan kepada kepala instansi bersangkutan terlebih dahulu, oleh karena secara ex officio/fungsi manajerial (termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa) melekat otomatis Karena jabatannya. Seandainya dalam tenggat waktu 14 (empat belas) hari pengaduan tidak memperoleh respon atau repson yang diberikan kurang memuaskan, kita dapat mengajukan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia selaku lembaga negara pengawas pelayanan publik.
Dengan demikian, pengajuan complain bukanlah wujud penghinaan atau pemberontakan terhadap negara yang apabila dilakukan dapat merusak nilai- nilai puasa, justeru bagian dari perintah agama sekaligus hak konstitusional. Sebab, -mengutip Sayyidina Ali bin Abi Thalib R.A.-kezaliman akan terus berlanjut bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik. Wallahu’alambish-shawaab
[1] Luthfi Kalbu Adi, StafPengajarFakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto.